ARTIKEL dari saudari Ida Cesillia Calon Legislatif DPR RI Daerah Pemilihan Bali partai PKP INDONESIA, mengusik rasa Adil saya untuk memuat ulang di Blog HS7 ini. Pembicaraan tentang hal tersebut telah lama kami perbincangkan dan dalam kesempatan kali ini saudari Ida Cesillia dapat merampungkan satu Artikel yang bertajuk "CALON LEGISLATIF PEREMPUAN 2014, TANTANGAN ATAU PELUANG.
SALAM HORMAT..... SALAM ADIL DAN SATU INDONESIA ,
Haposan Siahaan
 
Ida Cesilia
CALON LEGISLATIF PEREMPUAN 2014; TANTANGAN ATAU PELUANG ?

Berbicara mengenai perempuan memang menarik namun juga menyedihkan. Menarik, karena perbincangan ini berkenaan langsung dengan diri kita sebagai manusia yang secara biologis tercipta sebagai laki-laki dan perempuan.

Menyedihkan, karena secara empiris-sosiologis tidak bisa dihindari, banyaknya ketidakadilan sosial yang terjadi terhadap gender perempuan. Dan ketidakadilan ini barang kali merupakan ketidak adilan tertua dalam sejarah manusia.

Teori konvensional yang beredar di Eropa, lalu merambah bumi Nusantara ini, menyatakan bahwa “tempat perempuan adalah di rumah” dan bukan di ruang publik atau pada tempat kebijakan penyelenggaraan kehidupan dibuat. Dan laki-laki, misalnya, cenderung mempersepsikan dirinya sebagai pemimpin dan memandang perempuan harus tunduk kepada mereka.

Semua hak-hak demokrasi yang susah payah diperjuangkan, semisal, Revolusi Prancis hanya diberikan kepada Kaum Pria hingga seakan-akan perempuan tidak berperan apapun, atau lebih buruk lagi, hanya “hak milik” laki-laki.

Dari masa ke masa, budaya Patriarki yang merupakan sisi mata uang dengan sistem monarki di sisi yang lain bermetamorfosis dan beradaptasi dengan struktur dan sistem yang ada dan menciptakan ketidakadilan baru bagi perempuan.

Keterpurukan status perempuan semakin buruk oleh adanya sistem kelas dalam masyarakat feodal dan semakin bertambah mengenaskan bila kebetulan ia anggota kelas minoritas, miskin ( rakyat kebanyakan).

Kenyataan pahit ini terus berlangsung dalam transformasi corak produksi feodal kepada model kapitalistik terutama di Barat saat meletusnya revolusi industri.

Perempuan menjadi subordinat laki-laki, tidak lebih dari mesin reproduksi yang tidak memiliki "hak sosial, politik, dan ekonomi." Dan hal tersebut terjadi di Indonesia sejak era kolonialisme melenggang di Bumi Pertiwi tercinta hingga saat ini dengan semakin memprihatinkan, program-program pembangunan yang disajikan untuk perempuan, bukannya mencerdaskan, malah mendukung kemapanan “penggusuran perempuan.”

***

Pada pemilu 2004 – 2009 banyak yang menyoal kebijakan politik, kebijakan partai yang tidak transparan dan berpihak bagi perempuan namun belum ada yang berani melakukan gebrakan politik terkait hal tersebut.

Terkait UU Parpol, dimana peran strategis KPU? Bukankah Keterwakilan perempuan harus sesuai per/UU, disinilah peran KPU dalam rangka mengkonsistensi hal tersebut.

Keterwakilan Pencalonan pemilu 2014 kurang lebih sama seperti 2009 bahwa partai politik mengajukan seleksi bakal calon anggota DPR dan DPRD melalui mekanisme demorkatis dan terbuka sesuai AD ART dan atau peaturan internal parpol peserta pemilu, bakal calon disusun berdasarkan nomor urut, daftar bakal calon paling banyak 100% dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan dengan memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan, daftar bakal calon disusun dengan ketentuan setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan.

Apakah benar perempuan memiliki kepedulian yang baik terhadap keadaan sosial dan memiliki agenda atau tujuan terhadap budaya dan sosial kemasyarakatan?

“Menjadi politisi perempuan sudah jelas harus memiliki tujuan, sehingga keberadaan perempuan di DPR memiliki arti dan memiliki sesuatu yang harus diperjuangkan." Selama ini banyak pihak mengharapkan keberadaan perempuan dalam parlemen Indonesia mampu melakukan perubahan kebijakan politik.

"seorang perempuan bisa berkata bahwa karena keberadaan dirinyalah satu pasal atau bahkan satu undang-undang bisa lolos dan disahkan.”

Pada tahun 2004 lahir Undang-Undang Tenaga Kerja Migran dan Undang-Undang Anti Trafficking, dua masalah yang berlaku umum dan korban terbanyak adalah perempuan.

Tahun 2009, biarpun jumlah perempuan di DPR lebih banyak, yaitu 18%, nyatanya tidak semua dari perempuan-perempuan tersebut memiliki kepedulian dan agenda yang jelas. “Secara umum perempuan-perempuan tersebut hanya bangga bisa menjadi anggota DPR, tanpa memiliki tujuan untuk apa mereka berada di parlemen.”

Ani Soetjipto, peneliti gender dan sosial dari Universitas Indonesia, berpendapat bahwa salah satu tanda tidak terlalu berdayanya para perempuan di parlemen tahun 2009 adalah dengan tidak berhasil diratifikasinya beberapa regulasi penting, seperti Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender, amandemen Undang-Undang Perkawinan, dan revisi Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPLNI).

Padahal, dengan adanya perempuan di parlemen, diharapkan ada yang memperjuangkan isu-isu yang terkait dengan anak dan perempuan serta pendidikan yang berlatar belakang adat dan tradisi nusantara, yang selama ini tidak terpikirkan oleh pria. Regulasi yang jelas dan dilaksanakan dengan baik nantinya akan membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dan, menurut pendapat saya, jika negara ini ingin menghasilkan undang-undang yang ramah gender, maka perempuan sendirilah yang harus memperjuangkannya di parlemen dengan memperkenalkan [pikir keadilan] dan [pikir kemanusiaan] atau [rasa keadilan] dan [rasa kemanusiaan] dengan cara dan sudut pandang perempuan memandang permasalahan budaya dan sosial masyarakat secara mikro dan makro.

Secara kuantitas, jumlah perempuan di legislatif boleh saja mengalami peningkatan. Namun, banyak pihak menyoroti, secara kualitas malah seperti terjadi penurunan. Pihak-pihak yang semula tidak terlalu setuju dengan adanya kuota perempuan di parlemen, makin berkomentar sinis.

Misalnya, suara-suara yang mengatakan, perempuan belum siap berada di parlemen, perempuan hanya pemanis, atau, untuk mewakili kepentingan perempuan tidak harus ada wakil perempuan, laki-laki juga bisa, dan komentar lainnya.

Saya berpendapat, kenyataannya, para pria masih segan untuk memberikan tempat yang strategis kepada kolega perempuan, dengan alasan belum berpengalaman. Buktinya, tidak ada satu pun anggota perempuan di pansus penanganan bencana, padahal pansus tersebut berada di komisi 8 yang anggota perempuannya cukup banyak.

Dalam penanganan bencana, banyak yang terkait dengan perempuan dan anak, seperti kebutuhan bantuan makanan bayi, pembalut wanita, toilet yang layak, dan masih banyak lagi. Untuk itu, tidak adil rasanya jika masalah perempuan legislatif yang terpilih dianggap tidak mampu, lalu menggoyahkan kuota 30% jumlah wanita di parlemen.

“Anggota DPR pria pun banyak yang tidak kompeten, tapi mereka tidak menjadi sorotan. Jumlah yang banyak dan keberadaan mereka yang sudah biasa di DPR membuat orang-orang menjadi 'maklum' dengan situasi ini.

Jika ada yang mengatakan bahwa perempuan di DPR kerjanya hanya jualan barang ketika rapat, anggota dewan pria juga ada, kok, yang nyambi berdagang.”

Data terbaru dari KPU, total caleg perempuan pada Pemilu 2014 mencapai 2.434 orang (37,01%) dan caleg pria 4.142 orang (63,09%).

Namun demikian, jumlah responden yang akan mempertimbangkan untuk memilih caleg perempuan di 2014 nanti, angkanya relatif berimbang dengan responden yang menyatakan tidak akan memilih calon perempuan, sekitar 41% (survei terhadap 1799 responden berusia 17 tahun ke atas).

Itu artinya, tak sedikit para perempuan sendiri yang masih enggan untuk menjagokan caleg perempuan.

Satu dekade kuota perempuan, menjadi tantangan yang dihadapi perempuan, bukan hanya menjadikan kualitas representasi yang mengejar jumlah saja, tapi juga harus bersifat substantif (perempuan yang berkualitas, bermutu dan kompeten).

Untuk mencapai tujuan itu, menurut saya, yang harus dibenahi adalah mekanisme rekruitmen partai politik. “Harus dibangun sistem yang terpadu, mulai dari rekrutmen kader, pendidikan, peningkatan kapasitas secara internal, sampai pada nominasi dan promosi kader tersebut di jabatan politik.” Ini bila ingin mendapat politisi perempuan yang berkualitas, komitment dan integritas nasional.

Saat ini banyak kader perempuan direkrut secara instan menjelang kampanye pemilu. Secara umum minim pengalaman politik, tidak punya basis dan tidak punya kompetensi yang baik, akhirnya bisa terpilih jadi pejabat publik. Kualitas caleg yang maju ke DPR akan sangat ditentukan oleh usaha partai politik dalam melakukan pendidikan bagi kader-kadernya.

Jika pendidikan dan pengkaderan tidak berhasil dilaksanakan dengan baik, yang terjadi adalah munculnya caleg-caleg yang patut dipertanyakan kualitasnya.

Partai poliik tidak bisa mengisi pemenangan posisi perempuan di tingkat kabupaten dan kota serta nasional. Perlu evaluasi kondisi objektif terkait hal ini.

Saat ini telah ada 9 DPRD di Indonesia yang telah memiliki 9% keterpilihan perempuan, hal ini terlihat paling menonjol di propinsi Maluku dan Kalimantan Timur.

Pada tahun 2009 – 2014 tidak ada perubahan 3 -10 dan 3 -12 dan yang berubah adalah kuota jumlah kursi.

Kouta 3,5 % skala nasional merupakan dua mata pisau bagi perempuan oleh karena ini diharapkan dapat dilakukan penghitungan kuota suara murni dengan metoda pencalonan tetap terhadap perempuan.

Dikhawatirkan akan banyak kehilangan gerakan aktivitas perempuan dan politik karena telah banyak berinvestasi dalam partai politik.

Data base tokoh dan potensi perempuan di tingkat lokal akan hilang, oleh karena itu perlu dipilih opsi yang berpihak kepada perempuan agar jangan menghilangkan peran perempuan dalam parlemen dan partai politik.

Saya mencoba memaparkan road map terkait penguatan perempuan politik dalam siklus pemilu. Hendaknya kita memiliki pencatatan lengkap terkait quote internal partai politik. Perlu dimulai pendata base an dan pendanaan terutama terkait dana kampanye.

Perlu pelatihan dalam masa kampanye dan bagaimana memasukan isu gender dalam platform partai, perlu dipastikan caleg perempuan tersebut harus mengetahui seluk beluk kepemiluan, terlatih dalam mengawasi pemilu serta pengembangan kapasitas perempuan.

Kesimpulan yang dapat diperoleh diantaranya adalah:

1. Perlunya mendorong komitmen dan konsensus pimpinan partai terkait posisi perempuan;

2. Perlunya tindakan bekerja sama dengan kaum laki-laki dalam penguatan posisi perempuan dalam politik;

3. Pentingnya melakukan koordinasi dengan masyarakat sipil untuk mendukung kandidat perempuan; dan

4. mendorong action plan yang serius terkait keterwakilan perempuan dalam partai politik.

UU Pemilu yang telah disyahkan masih terlalu banyak kompromi politik sehingga mengabaikan keterwakilan gender, transparasni dan akuntabilitas sehingga mengakibatkan kerugian besar kepada demokrasi Indonesia.

- Fenomena saat ini caleg hanya didorong mendongkrak hal financial saja dibanding pencanangan program kerja.

- Perlu berbicara terkait political presence, apakah keterwakilan perempuan cukup mewakili hal ini?

- Perlu diperhatikan pra pemilu ada dua hal yang penting untuk dicermati yaitu diantaranya terkait Partai Politik bahwa meskipun UU Pemilu sekarang akan di judicial review maka perempuan di parlemen harus mempersiapkan counter terkait worst case scenario nya.

- Revisi UU Parpol makin lama makin berat, bila asumsinya seperti hal tersebut maka itu akan menjadi disinsentive bagi partai. Dugaan electoral threshold 3,5 % akan terlihat lebih mudah.

- Dalam survei terakhir LSI saat ini baru ada 3 partai yang ralatif aman melewati batas electoral threshold yaitu PD, Golkar dan PDI-P.

- Keterwakilan perempuan dalam bentuk penempatan legislator di parlemen yang paling baik adalah ditempati oleh partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

- Perlu ada pendekatan kepada elite partai agar perbanyakan jumlah caleg perempuan, ditempatkan di nomor urut yang strategis dan memiliki tingkat rekognsis yang tinggi di dapil tertentu.

- Saat ini ada gejala semangat anti partai karena antipasti terhadap partai, sehingga terjadi deviasi politik.

- Personal branding dari caleg lebih penting daripada partai, pemilih yang sudah menjatuhkan pilihan tapi tidak menutup kemungkinan untuk berubah pendirian terhadap partai.

- Dalam sistem pemilihan terbuka popularitas calon menjadi sangat penting. Awareness ketokohan menjadi sangat penting dalam system pemilihan jenis ini.

- Toleransi politik uang berpengaruh besar di tingkat masyarakat local. Magnitude politik Indonesia lebih “menarik” bagi masyarakat golongan menengah kebawah.

- Banyak politisi yang datang menjelang pemilu atau masa kampanye saja terkait hal ini maka pemilih perlu dijadikan sebagai subjek, perlu dilakukan silaturahmi dalam rangka memberikan penghargaan kepada para pemilih.

- Pada pemilu 2004 -2009 ada peningkatan keterwakilan perempuan meskipun belum mencapai 40%. Pertanyaan kritis terkait peningkatan presentase keterwakilan perempuan ini adalah bahwa apa output dan outcome yang telah diberikan anggota parelemen perempuan?.

- Ketika perempuan tersisih dalam posisi strategis maka akan terjadi hambatan – hambatan. Kultur dalam parlemen menjadi tantangan dan hambatan atas keterwakilan perempuan di parlemen.

- DPR RI memiliki fungsi sebagai pejabat publik di tingkat pusat maka posisi perempuan perlu diperkuat, jangan sampai posisi perempuan terkendala agar tidak terjadi stagnasi pengawalan kepentingan perempuan di parlemen.

UU Partai Politik telah memberikan ruang bagi hak sipil politik masyarakat dengan pria dan perempuan tanpa pengecualian.[CC]


*Dari berbagai sumber dan pengamatan lapangan.

9 January 2014
at 08:26

Leave a Reply